Mari kita sejenak mengingat kisah
pembunuh 99 nyawa dari Bani Israil itu. Apa yang menjadikannya membunuh untuk
ke 100 kalinya?
Agaknya seorang pemuda yang telah banyak
melakukan dosa, pemuda yang satu ini hidup bergelimang dosa dan maksiat, akan
tetapi masih memiliki iman dam rasa hormat kepada orang yang beragama. Konon ia
telah membunuh manusia sampai jumlah 99 nyawa dari Bani Israil. Tiba-tiba rasa
kerinduannya kepada kebenaran menghentak-hentak ubunnya, ada sesuatu yang
hilang dalam kehidupannya.
Berjalanlah ia, bertanya kesana kesini
kepada orang-orang tentang siapa orang yang bisa mencari jalan keluar bagi
permasalahannya. Masyarakat menunjuk seorang Ahli Ibadah dan disarankan untu
bertanya kepadanya. Lalu ia bertanya perihal dosa yang telah ia lakukan kepada
Rahib tersebut, “Telah kuhabisi 99 jiwa, mungkin kah taubatku diterima?”.
Agaknya tercekam oleh kata ‘bunuh’. Dalam ilmunya yang terbatas, yang dia tahu
Taurat menegaskan membunuh satu jiwa sama dengan membinasakan seluruh
kehidupan.
Baginya membunuh semut saja berdosa, apalagi merenggut nyawa 99
manusia. Maka cekaman itu melalaikan dari kata ‘Taubat’, itulah kebaikan yang
mengintip samar, harus dikenali dan dihargai.”tidak!”, mendengar jawaban itu
sang pemuda marah dan melengkapkannya. Tewaslah sang Abid sebagai korban
ke-100.
Sekali pun dosa telah ia lakukan
kembali, maksiat yang telah ia akui sebagai kesalahan sekarang terulang
kembali, seperti luka lama yang telah tidak lagi bertaut. Meskipun demikian
tidak membuat pemuda berputus asa, lalu ia kembali mencari kedua kalinya akan
ahli Ilmu yang benar-benar berilmu. Di tunjukan lah kepadanya seorang yang
berilmu.
Lalu jumpa lah si pembunuh dengan Alim
yang tersenyum, memuji, membesarkan Hati. Seberkas senyum kecil dan pujian
sederhana, bisa membuat jiwa rapuh kembali percaya bahwa dia berhak dan layak
berbuat baik. Berkata lah ia “tuan guru hamba telah membunuh 100 jiwa, yang
terakhir bukan sembarangan orang, Ahli ibadah yang dihadapan Alloh jauh lebih
mulia dari 99 orang yang telah hamba bunuh sebelumnya. Apakah pintu taubat
masih terbuka untuk bagiku?” ia angkat kepalanya perlahan, seakan tidak percaya
dari jawaban tersebut, berbinar wajahnya, mulai berkaca dan tak tertahan
meneteskan air matanya karena bahagia yang tidak tertanggungkan, lalu ia
rangkul sang Alim tersebut.
Selesai sudah pengembaraannya, saatnya
ia menghirup hari-hari bahagia, tidak akan ia ulangi kembali tindakan-tindakan
yang telah meletihkan dan menyengsarakannya.
Ahli ilmu itu berkata, “akan tetapi, berangkatlah engkau ke negeri yang jauh, tempat orang-orang yang shalih tinggal. Jangan kembali lagi ke negerimu, karena negerimu, negeri yag tidak baik”. Ia berangkat dengan gelora semangat bersama langkah kaki yang setapak meninggalkan kampung halamannya, bersama itu pula telah ber-Azzam dalam lubuk hatinya untuk hijrah dari semua Amal buruk menuju Alam baik…
0 komentar:
Posting Komentar