Assalamualaikum…
Jazakumulloh ikhwah fillah terlebih para asatidz. Izinkan seorang yang fakir ilmu ini mericau tentang bagaimana keagungan dan betapa berjasanya seorang du’at. Bukan mengatakan yang paling bertakwa. Tapi yang jelas, terentang sebuah jarak yang jauh bahkan sejauh langit yang megah dengan kubangan lumpur dibawah lembah. Terharapkan dalam hati walaupun itu memang harapan.
Banyak yang ditemukan didunia Kampus, karena disitulah bibit-bibit unggul yang akan dipetik. Bahkan tak sedikit yang mendambakan kesempurnaan yang akan didapat nantinya, walaupun terkadang tak sebanding dengan yang diharapkan. Memaksakan kesempurnaan tanpa mencucurkan peluh adalah harapan kosong belaka yang membuat jiwa semakin berandai-andai. Seperti itulah umat yang terlahir dari kampus walaupun tak memukul rata semua, tapi hasil karbitan itu memang ada dan pada ujungnya memberikan kesan tak sedap dimata pun merasa di hati.
Adalah hal yang pantas bagi para kader dakwah untuk memeriksa hatinya. Melihat noktah hitam yang perlahan semakin merapatkan barisan dihati karena menikmati dosa. Bukan lah sang penulis yang bersih jiwanya, hanya saja Nabi salaullohu ‘Alaihi wa sallam bersabda, “kebanyakan munafik umatku adalah para Qari’ mereka”. (Hr. Ahmad 2/175, dihasankan Syu’aib Al-Arnauth). Tapi hadits ini bukan terguna bagi kita untuk mencurigai para qari’, melainkan diri sendiri. Mari bermuhasabah selalu. Sebagaimana Amirul Mukmin Umar ibn khattab yang takut dengan kemunafikan, sehingga membuat beliau tersedu-sedu untuk yang kesekian kalinya, demi menerka-nerka adakah diriku dalam catatan munafik?.
Sejujurnya kesan para aktivis dakwah untuk bersatu masih jauh, masing-masing ingin eksis, retorikanya saja bersatu tapi hati siapa yang tahu. Asyafi’i menasihatkan, “Belumlah menjadi saudaramu, dia yang membuatmu harus berpura-pura”.
Jika memang mengedepankan orientasinya dakwah maka tak adalagi ingin tampil sendiri-sendiri. Mulai dengan saling mendoakan karna Alloh, saling menasihati karena Alloh, dan tentunya saling mentupi Aib karena Alloh. Mereka yang berhati nurani tak lagi melampirkan kesedihan, kesusahan, dan kelelahan dalam neraca laba-rugi. Perhatikan lah bangsa yang kaya raya ini berbangga dengan pesona aktivis dakwah kampus. Jadi sudah sepatutnya tak ada lagi mencari-cari alasan untuk mencari keuntungan di luar yang telah di janjikan oleh-Nya. Alangkah bahagianya mereka yang mempunyai kejujuran ruh dalam setiap langkahnya.
Alloh Maha Adil, memberikan bashiroh yang lebih kepada mereka yang tak menghitung rupiah langkahnya. Kiranya hati nurani ini bisa bicara pasti akan merasakan sakit dan meronta-ronta setiap kali berpura. Namun, apa yang didapat orang yang menutup rapat-rapat matanya sendiri, dari cahaya yang terang disekitarnya?. Syaikhul Tarbiyah Ustd Rahmat Abdullah mengatakan “perbedaaan mendasar antara dakwah pra dan pasca pembaharuan Tarbiyah 20 tahun yang lalu ialah, bahwa sebelumnya tidak cukup Bi’ah semai (milu) tempat pemikiran dikembangkan secara konsisten untuk pertama kali dan seterusnya. Sebagian besar umat tak mengerti, tapi pengertian mereka yang mengerti pun tak beranjak, tak membangun emosi dan tak membentuk kata hati”.
Mestinya tidak begitu, karena ditempat ini lah disambung keteladanan sejarah tak ada yang seindah dan serapih Aktivis dakwah kampus yang saling menyebutkan kabar gembira sampai semua merasa bahagian. Sosoknya menjadi du’at panutan baik yang akan datang maupun yang telah lampau. Alangkah tentram berada ditengah-tengah mereka memberikan keberkahan disetiap langkahnya. Mereka lah Ulama terbaik, Ulama air hujan yang memberikan keberkahan disetiap langkahnya, menebarkan penghormatan, dia ditunggu-tunggu oleh si penikmatnya, menyuburkan hati yang tandus, memberikan kesegaran pada setiap jiwa yang didatanginya, darinya juga melahirkan bibit-bibit yang dirindukan masyarakat imani. Minimal menjadi Ulama mata air yang dicari-cari seperti oase di tengah padang gurun yang gersang, melegakan setiap mereka yang mencicipi keluasan ilmunya. Karena itu hindarilah Ulama air pam jika tidak ada maidahnya tidak keluar itu sang empu, jika tidak dibayar serat sekali untuk bisa keluar. Hanyalah tetesan-tetesan kecil yang diberikannya, bahkan tak keluar sama sekali.
Seoarang du’at harus kenal betul apa yang ia jalani. Tidak semata-mata hanya menampakkan bekas berupa akhlak yang baik secara zahir. Tapi, berhasil menyembunyikan ibadah kepada Alloh dari mata insan itu lah kesempurnaan yang indah. Ingat, engkau tidak akan panen hanya dengan membiarkan ilalang dan rumput tumbuh subur, tetapi tanam lah dan basmi hama riya’, sum’ah, dan ujub. pada saatnya hati-hati bila datang sang kumbang yang sekilas memberikan keindahan pada pucuk mekar, sepertinya terlihat indah tapi pada saatnya menghitampakan kelopak dan merapuhkan batang karna ia perlahan menghisap amalan-amalan shalih. Itulah bangga diri yang perlahan Rasululloh gambarkan “seperti api yang menghanguskan kayu”. Perlahan tapi pasti dan tak terasa sudah menjadi abu, lalu hilang.
Baiklah, ikhwah fillah tak baik jika berpanjang kata, karena penulis meyakini banyak berkata pasti banyak salah. Maafkan jika penulis terlalu ber api-api hingga menyakiti hati. Maafkan hati ini jika terlalu jauh untuk mengatakan yang belum pada makkomnya. Hanyalah sebatas ikhtiar agar tak sampai jatuh lebih jauh dalam pesakitan yang dinikmati. Hanya saja ada Muroqobah, merasa kebersamaan Alloh, diawasi, dilihat dan didengar. Semoga menjadi nutrisi yang meneguhkan hati.
(Andi Wirman)
0 komentar:
Posting Komentar