Ini sebuah kisah, kisahnya dimulai
dengan cerita indah disemester Akhir kuliah. Dia muslimah yang taat. Seorang
aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan dikampus, dan penuh
prestasi yang menyemangati rekan-rekannya. Kesyukurannya makin lengkap tatkala
prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik
demi detik serasa menyusupkan bahagia dinafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang
lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga
tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai
“pembesar” dikalangan para aktivis dakwah, usaha yang dirintisnya sendiri sejak
kuliah telah mengentaskan banyak kawan; sungguh membanggakan. Awal-awal si
Muslimah(akhwat) yang berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu
tak percaya diri. Tetapi niat baik dari masing-masingpihak mengatasi semuanya.
Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh
hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang
dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si
calon suami tampi sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon
tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki
dan adik perempuannya akan beserta agar batas syariat tetap terjaga.
“Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi
ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan
berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “Afwan
juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari
ini tetap berlanjut?”.
“Sayangnya tidak ada. Afwan, semua
sedang ada acara dan keperluan lainnya. Bisa ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat
keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk,
salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi
idznillaah, ditengah jalan sang teman ditelepon rekan lainnya untuk suatu
keperluan yang katanya gawat darurat. “saya menyesal membiarkannya turun di
tengah perjalanan”, kata Muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun
kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda barisan, dia didepan dan saya
dibelakang, saya insaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu mudah-mudahkan.
Astagfirulloh”.
Ringkas cerita, mereka akhirnya berdua
saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu
tak besa. Tetapi asri nan nyaman. Tidak megah. Tetapi anggun dan teduh.
Saat sang Muslimah pamit ke kamar mandi
untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak
ketakutan, syaitan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “dirumah yang
seharusnya kami bangun surga dalam Ridha-Nya, kami jatuh terjelembab ke dalam
neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”. Dia tersedu. Saya tak tega
memandang dia dan sang ibunda yang menunggu. Saya alihkan mataa saya pada adik
lelakinya disebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai disitu,
“Lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana, kami berdua berada dalam
gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah
pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun dijalan. Marah pada
kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis
dijok belakan. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami
kacau. Kami merasa hancur”.
Dan kecelakaan itu pun terjadi. Mobil
mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum
pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”
sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang memakan waktu itu diperberat
oleh kabar yang awalnya saya bingung saya harus mengucap apa. Saya hamil. Saya
mengandung. Perzinahan terdosa itu membuah karunia”. Saya takjub pada pemilihan
katanya. Dia menyebut “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucapkan itubagi
orang yang terluka oleh dosa.
“Yang membuat saya merasa langit runtuh
dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak, “ternyata calon suami saya, ayah
dari anak saya, meninggal ditempat dalam kecelakaan itu”.
“Subhanalloh”, saya memekik pelan dengan
hati menjerit. Saya pandangi si gadis kecil yang digendong oleh sang paman itu.
Rupanya Nak, penanda dosa yang harusdicintai itu. Engkau rupanya Nak, ujian
yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia
tak sabar menyeru kaumnya.
“Doa kan saya kuat “Ustad” itu terasa
menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri tubuh. Bagaimana saya
akan berkata-kata dihadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita,
bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa.
Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan
terhormat itu mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan
bukan hasil ketidaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami
tersayang meninggal karena frustasi?”
“Doa kan saya Ustad” kembali dia
menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah
menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak
menghalangi saya mencintai anak itu sepenuh hati”. Aduhai, bahkan pinta doanya
pu menakjubkan.
Alloh, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang
memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Alloh, jadikan wanita ini semulia Maryam.
Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabaranya meniti hari-hari bersama
sang buah hati. Alloh balasi tiap kegigihanya mencintai penanda dosa dengan
kemuliaan disisi-Mu dan di sisi orang-orang yang beriman. Alloh sebab ayahnya
telah kau-panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam
pengasuhan-Mu Yang Maha Rahman dan Rahim…
(Ustadz Salim A Fillah)
(Ustadz Salim A Fillah)
Ijin share
BalasHapus