Ingat Waktu

Ingat Waktu

Pages

Selasa, 21 Oktober 2014

Mencintai Penanda Dosa

Ini sebuah kisah, kisahnya dimulai dengan cerita indah disemester Akhir kuliah. Dia muslimah yang taat. Seorang aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan dikampus, dan penuh prestasi yang menyemangati rekan-rekannya. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia dinafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai “pembesar” dikalangan para aktivis dakwah, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentaskan banyak kawan; sungguh membanggakan. Awal-awal si Muslimah(akhwat) yang berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tetapi niat baik dari masing-masingpihak mengatasi semuanya.

Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampi sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syariat tetap terjaga.

“Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berlanjut?”.
“Sayangnya tidak ada. Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lainnya. Bisa ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi idznillaah, ditengah jalan sang teman ditelepon rekan lainnya untuk suatu keperluan yang katanya gawat darurat. “saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata Muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda barisan, dia didepan dan saya dibelakang, saya insaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu mudah-mudahkan. Astagfirulloh”.

Ringkas cerita, mereka akhirnya berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besa. Tetapi asri nan nyaman. Tidak megah. Tetapi anggun dan teduh.
Saat sang Muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaitan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “dirumah yang seharusnya kami bangun surga dalam Ridha-Nya, kami jatuh terjelembab ke dalam neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”. Dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menunggu. Saya alihkan mataa saya pada adik lelakinya disebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

“Kisahnya tak berhenti sampai disitu, “Lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana, kami berdua berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun dijalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis dijok belakan. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur”.
Dan kecelakaan itu pun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

“Setelah hampir empat bulan koma” sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung saya harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinahan terdosa itu membuah karunia”. Saya takjub pada pemilihan katanya. Dia menyebut “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucapkan itubagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak, “ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal ditempat dalam kecelakaan itu”.
“Subhanalloh”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi si gadis kecil yang digendong oleh sang paman itu. Rupanya Nak, penanda dosa yang harusdicintai itu. Engkau rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

“Doa kan saya kuat “Ustad” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata dihadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketidaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustasi?”

“Doa kan saya Ustad” kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya mencintai anak itu sepenuh hati”. Aduhai, bahkan pinta doanya pu menakjubkan.

Alloh, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Alloh, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabaranya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Alloh balasi tiap kegigihanya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan disisi-Mu dan di sisi orang-orang yang beriman. Alloh sebab ayahnya telah kau-panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhan-Mu Yang Maha Rahman dan Rahim…

(Ustadz Salim A Fillah)

1 komentar: