Ingat Waktu

Ingat Waktu

Pages

Kamis, 04 September 2014

Dakwah ini bukan mie instan

Asalamualaikum...
Kawan saya ingin curhat dan berbagi kisah, bagaimana saya takjubnya dengan mereka yang memposisikan hidupnya sama sevisi dan misinya dengan Rasulullah. Mereka yang bukan sekedar simpatisan umat Islam (upss maaf bila terlalu keras...). Ya, memang seperti itu yang saya ketahui, dia muslim dia solat, puasa, zakat, haji, bahkan haji dan umroh berkali2. Sayangnya itu hanya bersifat Ritual. Tidak ada di dalam dirinya visi dakwah, visi berjuang untuk islam itu yang tidak ada. Dan islam tidak bisa maju dengan yang seperti itu! Dan islam tidak bisa maju dengan tokoh muslim seperti itu! Dan dia hanya simpatisan orang islam!.

Betapa bahagianya saya saat ini bisa tergabung dalam agenda2 dakwah. Teringat bagaimana dahulu perjuangan murabbi saat kami dikampung. Sungguh betapa sabarnya beliau mendidik kami yang saat itu masih berandalan, tak hanya itu ternyata beliau juga menanamkan jiwa satu tubuh “Innamal mukminuna Ikhwah” klo tidak salah begitu lah bunyinya. Yang sampai sekarang jika kami bertemu maka hanya ingin menghabiskan waktu bersama. (ha.. jadi melow gini).

Tapi, sungguh dakwah ini tidak hanya sekedar mengajarkan teori, dakwah ini mengajarkan praktik pengamalan dalam kehiupan. Waktu itu saya belum tahu apa2 hanyalah sekedar aktivitas dengan mengaji biasa (panjang pendek harokat, syahadat tain, dan lain2nya yang mendasar). Walaupun orientasi mengaji biasa agak lama prosesnya.
Suatu saat sehabis sholat ashar murabbi mendekati saya yang sedang tilawah quran (ciee sudah bisa tilawah ..).  Usut punya usut ternya si ust mengajak saya untuk menemani beliau pergi ngajar ke desa pelosok, dengan alasan pandangan matanya sudah kabur, jika membawa kendaraan motor sulit utuk melihat. Ia sih memang saya lihat ust kurang sehat dia punya tubuh. Oke saya menyanggupinya.

Singkat cerita suungguh perjuangan ust waktu itu benar2 geleng kepala saya dibuatnya. Betapa tidak dari rumah kami kepelosok desa tersebut hampir sepuluh kiloan lebih jaraknya (sepuluh kilo orang desa ya..). Gelap, melewati kebu2, jalan menanjak, berbatu, becek, debu. Decak kagum tidak sampai disitu. Ternyata setelah sampai di sudut rumah sudah ramai jamaah yang menunggu, dengan semangat mereka yang saya rasakan saat itu. Wah bagaimana tidak umuran mereka sudah berkepala tiga, campur juga sih ada yang masih muda tetap masih semangat semua... kagak ada deh yang ngantuk meski terbat-bata dalam melafaskan tilawah.

Mungkin bagi kalian kawan itu biasa. Tapi bagi saya yang saat itu belum mengerti apa2 itu sudah cukup membuat saya takjub dan bila mengingatnya saat ini cukup untuk meneteskan butiran  air mata.
Masya Allah, semoga Allah merahmati kerja2 dakwahmu ust. Karena letihnya itu terasa bagi saya, apalagi saya membayangkan bagaimana kondisi ust saat itu.
Sungguh dakwah ini bukan sekedar mie instan... penuh proses yang panjang yang tidak bisa secara detail saya ceritakan. Bila mengingatnya saya hanya mampun melafaskan kalimat doa dan terus bergerak untuk berdakwah.

Tulisan ini saya tulis setelah saya membaca kutipan ust Sigit Kamseno di akun Facebooknya. Betapa sungguh perjalanan panjang itu akan menumbuhkan buah yang sangat manis. Bukan sekedar mengenyangkan yang dampaknya menyakitkan seperti mie instan...
Semoga tulisan ust Sigit kamseno ini menjadikan kita lebih bersyukur, lebih mencintai dakwah dan terus bergerak untuk umat yang lebih baik.

Ini dia............... “Perjuangan kader PKS di Indonesia tentu baik. Dulu, melihat muslimah mengenakan jilbab sangatlah sulit. Di sekolah-sekolah, apalagi instansi pemerintah, jilbab menjadi hal yang tabu. Waktu itu di media massa bahkan wanita berhijab acap diilustrasi secara buruk. Saya masih ingat betul ketika masih SMP, bagaimana sebuah surat kabar nasional memuat ilustrasi pencurian di swalayan dengan gambar wanita berjilbab dengan tudingan kain penutup aurat itu adalah sarana utk sembunyikan hasil kutilan jajanan supermarket. Atau, ilustrasi nonsense lainnya dimana tampak seorang ibu yang mengenakan jilbab sedang menyusui anaknya, namun dengan dada terbuka. Belum lagi tudingan aliran sesat dan seterusnya. Saya, ‘diusiaku yang 29th my age’ ini (huft!) masih merasakan ujung dari perjuangan perempuan-perempuan itu utk diberi kebebasan mengenakan hijab di ijazah SMP dan SMA: kakak angkatan saya masih membukanya lantaran represifitas pemerintah terhadap selembar kain penutup aurat itu.  Bayangkan, demikian sulitnya sekadar untuk tunaikan perintah agama.


Dan adalah kader PKS, antara lain almarhumah Yoyoh Yusroh (semoga Allah menempatkan beliau pada tempat terindah di sisi-Nya) bersama rekan-rekannya seperti Wirianingsih, dan kader-kader gerakan tarbiyah (cikal bakal PKS) lainnya yang berdarah-darah memperjuangkan kebebasan agar wanita muslimah dibebaskan untuk menutup aurat, sebab ia panggilan agama. Utk keyakinan ini, mari kita abaikan celotehan anak-anak Islam liberal yang selalu nyinyir anggap jilbab sebagai tradisi Arab. Kita katakan, “Tradisi Arab itu tari perut, bung! Aurat terbuka bebas kemana-mana.” Justru ketika turun kewajiban berjilbab sebagai perintah Tuhan, wanita-wanita Arab yang bertaqwa bergegas menutup kepalanya meski harus kenakan tirai yang masih menggantung.

Kini, perjuangan untuk mengenakan hijab telah menemukan buahnya. Mata kita haru dan basah ketika pemerintah akhirnya membolehkan jilbab digunakan di instansi-instansi plat merah, juga dibolehkannya foto berjilbab pada ijazah sekolah-sekolah menengah. Sekarang sangatlah mudah menemukan wanita berjilbab di mana-mana, mulai instansi pemerintah hingga perbankan, dari buruh-buruh pabrik garmen hingga anak-anak pra sekolah, mulai tukang jamu gendong hingga eksekutif muda di perusahaan multinasional, semua kenakan jilbab. Malah kini kondisinya berbalik, jika rekan-rekan berkunjung ke kementerian atau lembaga-lembaga milik Negara, lalu menemukan wanita tak berjilbab, hati tergelitik bertanya: “apakah Anda Muslimah?”

Walhamdulillah, dakwah dengan cara mulia telah menikmati hasilnya. Kisah kolosal wanita-wanita itu dalam memperjuangkan penggunaan jilbab di masa orde baru bisa kita baca dalam buku Revolusi Jilbab, Karya Alwi Alatas, atau dalam buku Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan

Pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Kita akan dapati perjuangan para senior tersebut memerlukan waktu yang tak singkat. Tidak seumpama mie instan yang bisa dinikmati segera setelah dimasak. Semoga menjadi amal shalih dalam hamparan keikhlasan bagi mereka-mereka yang berjuang berpeluh keringat untuk generasi baru yang kini sangat mudah kenakan jilbab dengan aneka modelnya yang penuh warna.   

Selain itu…
Selain Jilbab misalnya, teman-temanku kader PKS, isu Palestina kini hangat dibicarakan dimana-mana. Pak SBY di website dan Fan Page-nya (gaul ya presiden kita) juga menulis surat terbuka berlembar-lembar untuk isu Palestina ini. Bahkan kemarin, sebuah acara infotainment turut pula menayangkan profil syuhada Palestina, termasuk tokoh legendaris al-Syaikh Ahmad Yassin. Luar biasa! Kini Televisi dan media cetak ramai-ramai menulisan kata “Pejuang” untuk Mujahidin Palestina, sebuah konotasi positif karena senyatanya mereka memang berjuang membebaskan negaranya, seumpama leluhur kita kala melawan penjajahan bule-bule Belanda itu.

Padahal dulu, media massa nampak berat menggunakan kata “Pejuang”, umumnya mereka hanya menulis ‘militan’ Palestina, dll. Bahkan, untuk tanah Islam lain di sudut-sudut bumi ini, media massa kerap menulisnya: “Pemberontak Chechnya,” “Pemberontak Moro”, “Pemberontak Kashmir”, dll. Kata pemberontak dalam konteks tadi tentu saja, mengutip Adian Husaini dalam bukunya Penyesatan Opini, hanya tepat jika media massa tersebut satu perspektif dengan Penjajah. Seumpama Belanda menyebut pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Indonesia dengan sebutan “Pemberontak”. 

Di Indonesia, terutama era Orde Baru, yang concern pada isu Palestina ini hanya kelompok Islam, hanya saja kampanyenya tak terlalu massif. Dulu ada KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) yang dimotori alm.Ahmad Sumargono, yang kemudian menjadi politisi Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam perkembangannya, yang lebih massif mengampanyekan isu Palestina ini adalah kader-kader PKS. Kampanye kader-kader PKS di berbagai media online termasuk sosial media, juga Aksi Demonstrasi sekaligus penggalangan dana yang dilakukan PKS secara kontinyu berhasil menyedot perhatian media massa. Beberapa kali masuk sebagai editorial media Indonesia yang dibedah di Metro Pagi.

Bagaimana tidak, Anda bisa bayangkan sebuah long march ratusan ribu massa dari Monas-Bundaran HI-Monas, memenuhi dua jalur utama jalan MH.Thamrin, dimana kepala long march itu sudah balik lagi ke Monas namun ekornya masih ada di titik start.


Untuk rekan-rekan yang berberat hati menerima fakta tentang peran PKS terhadap isu Palestina ini, saya bertanya: “apakah di Indonesia ini Anda menemukan ada organisasi yang peduli terhadap Palestina sebesar PKS?” jika Anda tak temukan, Anda serupa dengan seorang penceramah di Masjid kementerian Agama RI tahun lalu yang mengatakan, “tidak ada unjuk rasa yang bisa memenuhi jalan MH.Thamrin, kecuali jika PKS sedang demo solidaritas Palestina.” Anda juga sama dengan teman kuliah saya yang kini jadi pengamat politik di Charta Politika, dalam kolomnya di Harian Tempo, medio 2006 silam, bahwa ada kaitan antara PKS dan Masa Depan Palestina.

Sekarang Jokowi juga peduli terhadap Palestina, dan tentu secara otomatis media-media pendukungnya lakukan hal serupa. Selepas Pilpres kemarin, anak-anak Islam liberal yang kerap nyinyir terhadap aksi-aksi peduli Palestina kini lebih soft. Siapapun yang nyinyir terhadap tragedi kemanusiaan di Palestina kini tak akan punya teman, baik di Jokowi, apalagi di kubu Prabowo.

Walhamdulillah, dakwah telah menemukan jalannya. Padahal dulu aksi-aksi Solidaritas PKS untuk Palestina dicibir sebagian orang, untuk apa urusi negara orang? katanya. Tapi PKS bergeming. Tak hirau apapun yg dikatakan mereka yang usil. Dan kini ia telah menemukan buahnya, semua peduli Palestina. Dakwah memang perlu dilakukan dengan baik dan sabar. Sememangnya, sekali lagi, jalan dakwah bukan mie instan yang segera bisa dinikmati selepas diseduh. Sebagaimana antum, rekan-rekan PKS ketahui, ia adalah jalan yang thawil (panjang) wa lakin ashil (tetapi terjaga keasliannya).


Hal lain, belum lagi jika bicara tentang alternatif musik Islami serupa nasyid yang banyak diboomingkan oleh ‘anak-anak tarbiyah’, tren fashion dan aplikasi Islami, konsep-konsep ekonomi syariah, tren ruqyah syar’iyah, hingga lembaga-lembaga filantropi/kemanusiaan yang banyak dimotori oleh aktivis-aktivis gerakan Tarbiyah. Semoga tak ada yang berberat hati untuk menerima fakta tersebut”...


0 komentar:

Posting Komentar