Asalamualaikum...
Kawan saya
ingin curhat dan berbagi kisah, bagaimana saya takjubnya dengan mereka yang
memposisikan hidupnya sama sevisi dan misinya dengan Rasulullah. Mereka yang
bukan sekedar simpatisan umat Islam (upss maaf bila terlalu keras...). Ya,
memang seperti itu yang saya ketahui, dia muslim dia solat, puasa, zakat, haji,
bahkan haji dan umroh berkali2. Sayangnya itu hanya bersifat Ritual. Tidak ada
di dalam dirinya visi dakwah, visi berjuang untuk islam itu yang tidak ada. Dan
islam tidak bisa maju dengan yang seperti itu! Dan islam tidak bisa maju dengan
tokoh muslim seperti itu! Dan dia hanya simpatisan orang islam!.
Betapa bahagianya
saya saat ini bisa tergabung dalam agenda2 dakwah. Teringat bagaimana dahulu
perjuangan murabbi saat kami dikampung. Sungguh betapa sabarnya beliau mendidik
kami yang saat itu masih berandalan, tak hanya itu ternyata beliau juga
menanamkan jiwa satu tubuh “Innamal mukminuna Ikhwah” klo tidak salah begitu
lah bunyinya. Yang sampai sekarang jika kami bertemu maka hanya ingin
menghabiskan waktu bersama. (ha.. jadi melow gini).
Tapi, sungguh
dakwah ini tidak hanya sekedar mengajarkan teori, dakwah ini mengajarkan
praktik pengamalan dalam kehiupan. Waktu itu saya belum tahu apa2 hanyalah
sekedar aktivitas dengan mengaji biasa (panjang pendek harokat, syahadat tain,
dan lain2nya yang mendasar). Walaupun orientasi mengaji biasa agak lama
prosesnya.
Suatu saat
sehabis sholat ashar murabbi mendekati saya yang sedang tilawah quran (ciee
sudah bisa tilawah ..). Usut punya usut
ternya si ust mengajak saya untuk menemani beliau pergi ngajar ke desa pelosok,
dengan alasan pandangan matanya sudah kabur, jika membawa kendaraan motor sulit
utuk melihat. Ia sih memang saya lihat ust kurang sehat dia punya tubuh. Oke saya
menyanggupinya.
Singkat cerita
suungguh perjuangan ust waktu itu benar2 geleng kepala saya dibuatnya. Betapa tidak
dari rumah kami kepelosok desa tersebut hampir sepuluh kiloan lebih jaraknya
(sepuluh kilo orang desa ya..). Gelap, melewati kebu2, jalan menanjak, berbatu,
becek, debu. Decak kagum tidak sampai disitu. Ternyata setelah sampai di sudut
rumah sudah ramai jamaah yang menunggu, dengan semangat mereka yang saya
rasakan saat itu. Wah bagaimana tidak umuran mereka sudah berkepala tiga,
campur juga sih ada yang masih muda tetap masih semangat semua... kagak ada deh
yang ngantuk meski terbat-bata dalam melafaskan tilawah.
Mungkin bagi
kalian kawan itu biasa. Tapi bagi saya yang saat itu belum mengerti apa2 itu
sudah cukup membuat saya takjub dan bila mengingatnya saat ini cukup untuk
meneteskan butiran air mata.
Masya Allah,
semoga Allah merahmati kerja2 dakwahmu ust. Karena letihnya itu terasa bagi
saya, apalagi saya membayangkan bagaimana kondisi ust saat itu.
Sungguh dakwah
ini bukan sekedar mie instan... penuh proses yang panjang yang tidak bisa
secara detail saya ceritakan. Bila mengingatnya saya hanya mampun melafaskan
kalimat doa dan terus bergerak untuk berdakwah.
Tulisan ini
saya tulis setelah saya membaca kutipan ust Sigit Kamseno di akun Facebooknya. Betapa
sungguh perjalanan panjang itu akan menumbuhkan buah yang sangat manis. Bukan sekedar
mengenyangkan yang dampaknya menyakitkan seperti mie instan...
Semoga tulisan
ust Sigit kamseno ini menjadikan kita lebih bersyukur, lebih mencintai dakwah dan
terus bergerak untuk umat yang lebih baik.
Ini
dia............... “Perjuangan kader PKS di Indonesia tentu baik. Dulu, melihat
muslimah mengenakan jilbab sangatlah sulit. Di sekolah-sekolah, apalagi
instansi pemerintah, jilbab menjadi hal yang tabu. Waktu itu di media massa
bahkan wanita berhijab acap diilustrasi secara buruk. Saya masih ingat betul
ketika masih SMP, bagaimana sebuah surat kabar nasional memuat ilustrasi
pencurian di swalayan dengan gambar wanita berjilbab dengan tudingan kain
penutup aurat itu adalah sarana utk sembunyikan hasil kutilan jajanan
supermarket. Atau, ilustrasi nonsense lainnya dimana tampak seorang ibu yang
mengenakan jilbab sedang menyusui anaknya, namun dengan dada terbuka. Belum
lagi tudingan aliran sesat dan seterusnya. Saya, ‘diusiaku yang 29th my age’
ini (huft!) masih merasakan ujung dari perjuangan perempuan-perempuan itu utk
diberi kebebasan mengenakan hijab di ijazah SMP dan SMA: kakak angkatan saya
masih membukanya lantaran represifitas pemerintah terhadap selembar kain
penutup aurat itu. Bayangkan, demikian sulitnya sekadar untuk tunaikan
perintah agama.
Dan adalah kader PKS, antara lain almarhumah Yoyoh Yusroh (semoga Allah
menempatkan beliau pada tempat terindah di sisi-Nya) bersama rekan-rekannya
seperti Wirianingsih, dan kader-kader gerakan tarbiyah (cikal bakal PKS)
lainnya yang berdarah-darah memperjuangkan kebebasan agar wanita muslimah
dibebaskan untuk menutup aurat, sebab ia panggilan agama. Utk keyakinan ini,
mari kita abaikan celotehan anak-anak Islam liberal yang selalu nyinyir anggap
jilbab sebagai tradisi Arab. Kita katakan, “Tradisi Arab itu tari perut, bung!
Aurat terbuka bebas kemana-mana.” Justru ketika turun kewajiban berjilbab
sebagai perintah Tuhan, wanita-wanita Arab yang bertaqwa bergegas menutup
kepalanya meski harus kenakan tirai yang masih menggantung.
Kini, perjuangan untuk mengenakan hijab telah menemukan buahnya. Mata kita
haru dan basah ketika pemerintah akhirnya membolehkan jilbab digunakan di
instansi-instansi plat merah, juga dibolehkannya foto berjilbab pada ijazah
sekolah-sekolah menengah. Sekarang sangatlah mudah menemukan wanita berjilbab
di mana-mana, mulai instansi pemerintah hingga perbankan, dari buruh-buruh
pabrik garmen hingga anak-anak pra sekolah, mulai tukang jamu gendong hingga
eksekutif muda di perusahaan multinasional, semua kenakan jilbab. Malah kini
kondisinya berbalik, jika rekan-rekan berkunjung ke kementerian atau
lembaga-lembaga milik Negara, lalu menemukan wanita tak berjilbab, hati
tergelitik bertanya: “apakah Anda Muslimah?”
Walhamdulillah, dakwah dengan cara mulia telah menikmati hasilnya. Kisah
kolosal wanita-wanita itu dalam memperjuangkan penggunaan jilbab di masa orde
baru bisa kita baca dalam buku Revolusi Jilbab, Karya Alwi Alatas, atau dalam
buku Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan
Pelajaran yang dapat kita ambil adalah: Kita akan dapati perjuangan para
senior tersebut memerlukan waktu yang tak singkat. Tidak seumpama mie instan
yang bisa dinikmati segera setelah dimasak. Semoga menjadi amal shalih dalam
hamparan keikhlasan bagi mereka-mereka yang berjuang berpeluh keringat untuk
generasi baru yang kini sangat mudah kenakan jilbab dengan aneka modelnya yang
penuh warna.
Selain itu…
Selain Jilbab misalnya, teman-temanku kader PKS, isu Palestina kini hangat
dibicarakan dimana-mana. Pak SBY di website dan Fan Page-nya (gaul ya presiden
kita) juga menulis surat terbuka berlembar-lembar untuk isu Palestina ini.
Bahkan kemarin, sebuah acara infotainment turut pula menayangkan profil syuhada
Palestina, termasuk tokoh legendaris al-Syaikh Ahmad Yassin. Luar biasa! Kini
Televisi dan media cetak ramai-ramai menulisan kata “Pejuang” untuk Mujahidin
Palestina, sebuah konotasi positif karena senyatanya mereka memang berjuang
membebaskan negaranya, seumpama leluhur kita kala melawan penjajahan bule-bule
Belanda itu.
Padahal dulu, media massa nampak berat menggunakan kata “Pejuang”, umumnya
mereka hanya menulis ‘militan’ Palestina, dll. Bahkan, untuk tanah Islam lain
di sudut-sudut bumi ini, media massa kerap menulisnya: “Pemberontak Chechnya,”
“Pemberontak Moro”, “Pemberontak Kashmir”, dll. Kata pemberontak dalam konteks
tadi tentu saja, mengutip Adian Husaini dalam bukunya Penyesatan Opini, hanya
tepat jika media massa tersebut satu perspektif dengan Penjajah. Seumpama
Belanda menyebut pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Indonesia dengan sebutan
“Pemberontak”.
Di Indonesia, terutama era Orde Baru, yang concern pada isu Palestina ini
hanya kelompok Islam, hanya saja kampanyenya tak terlalu massif. Dulu ada KISDI
(Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) yang dimotori alm.Ahmad
Sumargono, yang kemudian menjadi politisi Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam
perkembangannya, yang lebih massif mengampanyekan isu Palestina ini adalah
kader-kader PKS. Kampanye kader-kader PKS di berbagai media online termasuk
sosial media, juga Aksi Demonstrasi sekaligus penggalangan dana yang dilakukan
PKS secara kontinyu berhasil menyedot perhatian media massa. Beberapa kali
masuk sebagai editorial media Indonesia yang dibedah di Metro Pagi.
Bagaimana tidak, Anda bisa bayangkan sebuah long march ratusan ribu massa
dari Monas-Bundaran HI-Monas, memenuhi dua jalur utama jalan MH.Thamrin, dimana
kepala long march itu sudah balik lagi ke Monas namun ekornya masih ada di
titik start.
Untuk rekan-rekan yang berberat hati menerima fakta tentang peran PKS
terhadap isu Palestina ini, saya bertanya: “apakah di Indonesia ini Anda
menemukan ada organisasi yang peduli terhadap Palestina sebesar PKS?” jika Anda
tak temukan, Anda serupa dengan seorang penceramah di Masjid kementerian Agama
RI tahun lalu yang mengatakan, “tidak ada unjuk rasa yang bisa memenuhi jalan
MH.Thamrin, kecuali jika PKS sedang demo solidaritas Palestina.” Anda juga sama
dengan teman kuliah saya yang kini jadi pengamat politik di Charta Politika,
dalam kolomnya di Harian Tempo, medio 2006 silam, bahwa ada kaitan antara PKS
dan Masa Depan Palestina.
Sekarang Jokowi juga peduli terhadap Palestina, dan tentu secara otomatis
media-media pendukungnya lakukan hal serupa. Selepas Pilpres kemarin, anak-anak
Islam liberal yang kerap nyinyir terhadap aksi-aksi peduli Palestina kini lebih
soft. Siapapun yang nyinyir terhadap tragedi kemanusiaan di Palestina kini tak
akan punya teman, baik di Jokowi, apalagi di kubu Prabowo.
Walhamdulillah, dakwah telah menemukan jalannya. Padahal dulu aksi-aksi
Solidaritas PKS untuk Palestina dicibir sebagian orang, untuk apa urusi negara
orang? katanya. Tapi PKS bergeming. Tak hirau apapun yg dikatakan mereka yang
usil. Dan kini ia telah menemukan buahnya, semua peduli Palestina. Dakwah
memang perlu dilakukan dengan baik dan sabar. Sememangnya, sekali lagi, jalan
dakwah bukan mie instan yang segera bisa dinikmati selepas diseduh. Sebagaimana
antum, rekan-rekan PKS ketahui, ia adalah jalan yang thawil (panjang) wa lakin
ashil (tetapi terjaga keasliannya).
Hal lain, belum lagi jika bicara tentang alternatif musik Islami serupa
nasyid yang banyak diboomingkan oleh ‘anak-anak tarbiyah’, tren fashion dan
aplikasi Islami, konsep-konsep ekonomi syariah, tren ruqyah syar’iyah, hingga
lembaga-lembaga filantropi/kemanusiaan yang banyak dimotori oleh
aktivis-aktivis gerakan Tarbiyah. Semoga tak ada yang berberat hati untuk
menerima fakta tersebut”...
0 komentar:
Posting Komentar