Jazakumullah ikhwah fillah terlebih para asatidz. Inilah imannya perasaan. Iman yang bergerak menjangkah segala emosi hati…
Sebelum menghayati dan mempelajari makna ‘Idul Adha’ sejenak mari mengenang manusia pencipta peradaban, manusia-manusia agung yang mengajarkan kita bagaimana cinta, taqwa, ikhtiar, optimal dan ikhlas. Banyak lagi sifat terpuji yang bisa ditiru. Hari ini kita kenang tiga manusia agung yang menyejarah pembentuk peradaban itu, Ibrahim yang mengajarkan kita cinta, taqwa dan patuh pada Allah semata. Siti Hajar yang terus berusaha dengan optimal dengan bekal keyakinan terus berikhtiar, kita pun mengenal beliau dengan sai dari safa ke marwa bola- balik terus begitu adanya membuktikan rasa cinta pada Allah dan anaknya. Kita kenang Ismail yang yakin dan sabar akan janji Allah. (As-Saffat{37}: 102).
Dari mereka kita belajar. Dari Ibrahim satu-satunya manusia yang disebut “UMAH”. Keagungan diri, segala ketundukannya, kekuatan taatnya setara dengan satu umat. Dimulainya dakwah dengan gagah. Sebagai pemuda, dipenggalnya semua patung. Dibabatnya hujah keberhalaan. Kaumnya terdiam terbungkam dan kita mengenal itu semua sejak zaman TPA (taman pendidikan Al Quran). Berkatnya juga dakwah mengenal sebagai pencipta peradaban, hingga dakwah menyebar luas bagai angin sejuk menyusuri pintu kepintu, lintang demi lintang dan bujur demi bujur. Lalu tumbuh, berakar, dan mekar…
Sekali lagi ini tentang iman. Peristiwa ini adalah awal kita mengenal tiga manusia yang melintas disebuah lembah kosong. Bila kita telisik lebih dalam maka akan mendapati iman itu sulit di fahami dengan tulisan, diceritakan dengan akal, bahkan di jawab oleh perasaan. Sebab iman itu di sini. Ditelunjuk yang mengarah ke dada. Jauh menghujam di kegelapan nurani bahkan lebih dalam dari yang diceritakan hati.
Membuka kembali lembar-lembar lama yang telah terpajang. Ini dia sebuah kosak kata dari sang empunya. Ust Salim mengajarkan dan menggambarkan betapa perlu berfikir setiap kali kita membacanya. Tentu kita bisa membayangkan, manusiawi jika Hajar tak terima ditinggalkan begitu saja di gurun terik tanpa tumbuhan, sedikit makanan, dan tanpa kawan.
Subhanalloh… tentu saja ibunda Hajar jauh dari akhlaq semacam itu.
Subhanalloh… tentu saja ibunda Hajar jauh dari akhlaq semacam itu.
Ini dia suasana tak tampak hewan, tak terlihat tanaman. Mereka adalah lelaki yang mulai menua, dan seorang wanita yang menggendong bayi merah. Rasa lelah membuat mereka berhenti. Dan sang bayi yang kehausan mulai menyusu pada ibunya.
Tetapi laki-laki itu, suami yang shalih, tiba-tiba saja berjalan ke arah yang berbeda; Utara. Sekilas sang istri melihat ada kaca-kaca di pelupuk matanya. Dan ia terus berjalan. Hingga sang istri kemudian sadar bahwa ia dan bayinya telah ditinggal. Maka ia pun mengejar, mencoba menyusul. Ia berlari kecil dengan bayi merah yang terguncang-guncang dalam gendongan.
“Mengapa kau tinggalkan kami hai Ibrahim?”. Serunya penuh tanya.
Lelaki itu Ibrahim tak menjawab. Ia hanya berhenti sejenak, menghela nafas dalam-dalam dan menahan isak.
“Mengapa kau tinggalkan kami hai Ibrahim?”
Yang ditanya tetap diam. Ia tak mampu menjawab, lalu ia melangkah lagi, sedikit menyerong, menghindar dari istri yang menghadang.
“Mengapa kau tinggalkan kami hai Ibrahim?”
Ibrahim masih diam. Dalam hati berkecamuk sejuta senyawa rasa. Dia yang menanti-nanti kelahiran buah hati berpuluh-puluh tahun lamannya. Dia melalui malam-malam dengan doa-doa. Memohon ada tangis kecil dan memecah kesunyian rumahnya. Kini Allah memberikan anugerah itu, Isma’il. Dan kini, Allah tiba-tiba memintanya meninggalkan Isma’il dan Ibunya ditanah tak berpenghidupan ini. Ia akan merasa sepi lagi. Ia akan dilanda khawatir tak bertepi. Tetapi apa daya seorang hamba? Dan mengapa harus bersangka pada Allah dengan yang tak semestinya?
Ya, Ia Ridha dengan perintah-Nya. Hanya saja ia tak sanggup menjawab Hajar. Sekali lagi lapis bening di mata telah berubah menjadi genangan. Hati gerimis.
Ya, Ia Ridha dengan perintah-Nya. Hanya saja ia tak sanggup menjawab Hajar. Sekali lagi lapis bening di mata telah berubah menjadi genangan. Hati gerimis.
“Apakah ini perintah Allah?”, tiba-tiba Hajar mengubah pertanyaan.
Ibrahim terhenyak. Ia berhenti sesaat, lau berbalik. Tatapanya di tumbuhkan ke bola mata Hajar yang bening dan polos. Kedua tangannya mencekang lengan-lengan Hajar. “Ya”, katanya. Helaan nafasnya panjang dan berat. “Ini perintah Allah”.
Sesaat Hening. Mereka berpelukan. “Kalau ini perintah Allah”. Kata Hajar berbisik di telinga suaminya, “Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami
Sungguh betapa agungnya sepenggal kisah ini. Iman adalah mata yang terbuka, menjalani semua perintah-Nya. Sebab ia menggerakkan hati dan fikiran untuk berpayah memahaminya. Tetapi inilah iman. Dan semua faham demikian lamanya Ibrahim menunggu sang buah hati demi mendengar terdengarnya tangisan pemecah sunyinya malam, demi nasaf keNabian yang dibawanya.
Sekali lagi ini tentang iman. Membutuhkan kerja nyata. Yang menghantarkan kita pada episode tak terduga. ‘Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu’. Wasiat sang Rasul Muhammad yang mashur. Bukan hanya untuk dikenang, namun mempunyai arti keberanian tuk dilakukan. Kalau di bawa dalam konteks kekinian maka kita akan melihat rupa keajaiban dari kerja-kerja dakwah ini. Tentu setelah kerja yang menguras tenaga.
Nah, mari belajar pada Hajar bahwa makna kerja keras itu adalah menunjukan kesungguhan kita kepada Allah. Mari bekerja keras seperti Hajar dengan gigih dan yakin. Bukan lagi saling lempar-lemparan amanah. ‘ini hak antum! Ini hak ane!’. Tidak ya ikhwah malulah kita pada ibunda Hajar.
Kita faham dilintas sejarah nan sunyi ia di uji. kini menyergap kegersangan yang membakar. Yang ada hanya pasir dan cadas yang mebara. Tak ada pepohonan tempat bernaung. Tak ada air untuk menyambung hidup. Tak tampak insan untuk berbagi kesah, kecuali bayi itu. Isma’il. Dia kini menangis begitu keras karena lapar dan kehausan.
Maka Hajar pun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangisan putra semata wayangnya. Ada dua bukit disana dan dari Ujung ke ujung di telisiknya dengan seksama. Tak ada. Sama sekali tak ada tanda. Tapi dia terus mencari. Berlari bolak-balik tujuh kali. Mungkin dia tau, tau tak pernah akan ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukan kesungguhanya pada Allah. Sebagaimana telah ia yakinkan sang suami, “jikalau ini perintah Allah, Dia tak pernah menyia-nyiakan kami!”.
Maka keajaiban itu memancar. Zam-zam! Bukan. Bukan dari jalan yang ia susuri atau jejak-jejak yang dia torehkan di antara Shafa dan Marwa. Air itu muncul justru dari kaki Isma’il yang bayi. Yang menagis. Yang haus. Yang menjejak-jejakan. Dan Hajar pun takju. Begitu keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita.
Begitulah kita diajarkan tentang makna bekerja. Mungkin dia tau takan pernah ada air disitu. Hanyalah ingin menunjukan kesungguhan kepada Allah. Bekerja dan bekerjasama lah untuk Islam. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga.
Dilintas sejarah yang berikutnya, Isma’il berusia 7 tahun ada pula yang berpendapat 13 tahun, pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah. Ibrahim bermimpi ada seruan.
“Hai Ibrahim! Penuhi nazarmu (janji).
“Hai Ibrahim! Penuhi nazarmu (janji).
Sebelum kitamelanjutkan kisahnya, ternyata Ibrahim di lain waktu pernah menyembelih kurban berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak yang terkagum. Bahkan para penghuni lagit diantaranya Malaikat yang sangat terkagum-kagum oleh ketaatan Ibrahim atas kurbanya. “Kurbar sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Sungguh demi Allah!” hingga kemudia Ibrahim melanjutkan sahutanya. “Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya”. Ungkapan Ibrahim karena Sarah belum juga mengandung.
Setelah malam mimpi itu, pagi hari mulai berfikir. Apakah mimpi tersebut datang dari Allah atau dari syetan? Dan disini lah kita mengenal kata tarwiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah; sebagai perenungan dan berfikirnya Ibrahim kala mendapat mimpi. Malam selanjutnya pun beliau memimpikan yang sama tepat di hari ke 9 Dzulhijjah. Ibrahim baru meyakini bahwa mimpi tersebut datang dari Allah. Dan bertepatan pula Ibrahim sedan berada di tanah Arafah (mengetahui). Hingga malam selanjutnya sama pulalah mimpi yang didapat.Pada mimpi yang ketiga kalinya, seolah-olah ada yang menyeru seakan menyeruak di telinga “Sesungguhnya Allah memerintahkan mu agar menyembelih putramu. Isma’il”. Terbagunseketika. Seperti tak mungkin. Maka bertekat melaksanakan nazar itu. Dihari itu adalah Yaumun nahr (menyembelih kurban).
Ibrahim menemui Hajar “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan ku ajak untuk bertamu kepada Allah”. tentu saja mendandani Isma’il dengan pakaina paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.
Berangkatlah menuju suatu lembah di Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Iblis mulai melancarkan keahlianya untuk menyesatkan sang Insan. Sibuk mondar-mandir dan belum pernah sesibuk itu. Perlahan Isma’il segera mendekati ayahnya.
“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampak lucu itu?” iblis mulai mengguncang.
“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampak lucu itu?” iblis mulai mengguncang.
“benar, namun aku diperintahkan untuk itu (menyembelihnya). Ujar Ibrahim.
Tak sampai situ Iblis mulai mendatangi Hajar. “mengapa kau hanya duduk-duduk saja. Padahal suamimu membawa anakmu untuk disembelih?”. Goda Iblis.
Dengan lantang Hajar menyeru, “jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?”
“mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan untuk itu?”. Rayu iblis.
“Untuk apa seorang Ayah membunuh anaknya?” timpalnya dengan nada sedikit mengeras.
“Ia menyatakan bahwa Allah memerintahkan untuk itu”. Goda iblis meyakinkanya.
“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.
Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”
“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.
“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.
Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.
Sesampainya di Mina Ibrahim berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shaffat: 102).
“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
Mendengar jawaban putranya, legalah Ibrahim dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillah) sebanyak-banyaknya.
Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”
“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma’il.
Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Ibrahim menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Ibrahim menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”
Ibrahim melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.
Atas izin Allah, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Allah berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 106)
Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Ibrahim menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allahu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Alahhu Akbar”. Ibrahim menyahut, “La Ilaha Illallahu wallahu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allahu Akbar wa lillahil hamd”. Jadilah kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha).
Sekali lagi ini tentang Iman. Ya, penulis takjub dengan apa yang terjadi pada ketiga manusia pencipta peradaban tersebut. Setulis nurani. Setelah di mulai dengan pemahaman hati maka kita akan peka mengapa skema peradaban begitu apik tuk ditelusuri. Memang daya ketuk hati sulit untuk dibahas. Lihat mereka memesona membawa perubahan dari kegersangan menjadi penyubur jiwa.
Maka ku katakan sekali lagi tentang Iman itu. Di sini. Ditelunjuk yang mengarah ke dada. Jauh menghujam di kegelapan nurani bahkan lebih dalam dari yang diceritakan hati.
Smoga bisa jadi nutrisi untuk hati ini…
0 komentar:
Posting Komentar